Konflik sipil di Myanmar telah berlangsung lebih dari 60
tahun, mendiskriminasi orang Rohingya. Ini sungguh melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM). Karena hak kewarganegaraan adalah hak asasi yang dijamin dan dilindungi
hukum internasional. Bahkan di dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Deklarasi
Universal HAM 1948 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas sesuatu
kewarganegaraan dan tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut
kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.
Baru-baru ini, militer Myanmar telah melakukan serangan
balasan terhadap Rohingya, setelah pos polisi dan sebuah pangkalan militer
diserang pada akhir Agustus 2017 oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Kelompok ini dianggap sebagai organisasi "teroris" oleh pemerintah
Myanmar. Menurut kelompok Krisis Internasional, ARSA memiliki hubungan dengan
Rohingya yang tinggal di Arab Saudi.
Rohingya kelompok etnis Muslim yang telah tinggal berabad-abad
di mayoritas Myanmar Buddha. Saat ini, ada sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya
yang tinggal di negara Asia Tenggara. Rohingya tidak dianggap sebagai salah
satu dari 135 kelompok etnis resmi negara tersebut dan telah ditolak
kewarganegaraannya di Myanmar sejak tahun 1982, yang telah secara efektif
membuat mereka tanpa kewarganegaraan.
Tak lama setelah kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada
tahun 1948, Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar disahkan, menentukan etnis
mana yang bisa mendapatkan kewarganegaraan. Menurut laporan tahun 2015 oleh
Klinik Hak Asasi Manusia Internasional di Yale Law School, Rohingya tidak
disertakan. Pada saat kudeta militer 1962 di Myanmar, keadaan Rohingya semakin
sulit. Semua warga negara diminta untuk mendapatkan kartu registrasi nasional.
Rohingya, bagaimanapun, hanya diberi kartu identitas asing, yang membatasi
pekerjaan dan kesempatan pendidikan yang dapat mereka kejar dan dapatkan.
Pada tahun 1982, sebuah undang-undang kewarganegaraan baru
disahkan, yang secara efektif membebaskan Rohingya tanpa kewarganegaraan. Di
bawah hukum, Rohingya kembali tidak dikenal sebagai salah satu dari 135
kelompok etnis di negara ini. Undang-undang tersebut menetapkan tiga tingkat
kewarganegaraan. Untuk mendapatkan tingkat yang paling dasar (naturalisasi
kewarganegaraan), harus ada bukti bahwa keluarga seseorang tinggal di Myanmar
sebelum tahun 1948, serta kelancaran salah satu bahasa nasional. Banyak
Rohingya kekurangan dokumen semacam itu karena tidak tersedia atau ditolak oleh
mereka.
Sejak tahun 1970an, sejumlah tindakan keras terhadap
Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang untuk
melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, serta Malaysia , Thailand,
Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Selama tindakan keras
tersebut, para pengungsi sering melaporkan pemerkosaan, penyiksaan, pembakar
dan pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar.
Organisasi Internasional tak berdaya terhadap Myanmar.
Myanmar tetap saja melakukan hal yang tak menyenangkan pada Rohingya. Kita
sudah tahu semua apa yang dilakukan Myanmar melanggar. Solusi preventif terus
dijalankan. Kita takutkan adalah kawasan ASEAN menjadi tidak damai lagi.
Beberapa konflik terus dicoba untuk mengganggu stabilitas ASEAN. Indonesia tak
terpancing.
Umat Islam sedang sakit. Sakit itu berasal dari derita
Rohingya. Kasihan umat Islam dunia. Tak bisa lakukan lobi apa-apa terkait
masalah kemanusiaan Rohingya. Paling hanya mengkritik di media yang tak
hasilkan apa-apa. Tapi itu lebih baik daripada diam. Apakah derita Rohingya ini
akan sama dengan derita Palestina. Derita Palestina belum juga selesai.
Dari derita Rohingya kita harusnya bersyukur dan
sungguh-sungguh menjaga Indonesia. Agar Indonesia bisa jadi milik semua rakyat
Indonesia tanpa diskriminasi. Myanmar harus memperhatikan adab
memperlakukan warga negaranya. Dengan diberikannya hak kewarganegaraan penuh
kepada Rohingya dan pengakuan Rohingya sebagai bagian bangsa Myanmar, akan
mempercepat penyelesaian permasalahan Rohingya.
Aung San Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian pun
tidak memiliki kendali atas militer namun telah dikritik karena kegagalannya
untuk mengutuk kekuatan sembarangan yang digunakan oleh tentara, dan juga
membela hak-hak lebih dari satu juta Rohingya di Myanmar. Pemerintah Aung San
Suu Kyi sering menolak akses wartawan dan pekerja bantuan ke Negara Bagian
Rakhine. Kantor Aung San Suu Kyi juga menuduh kelompok bantuan membantu mereka
yang dianggap sebagai "teroris".
Selain itu negara tersebut juga menolak visa kepada anggota
penyelidikan PBB yang menyelidiki kekerasan tersebut dan dugaan pelanggaran di
Rakhine yang bertujuan untuk menahan mereka yang bertanggung jawab. Jika para
pemimpin Myanmar serius dalam mengakhiri perang sipil dan budaya impunitas di
negara tersebut, mereka harus melakukan segalanya dengan kekuatan mereka untuk
bekerja sama dengan misi PBB. Jika tidak, Myanmar berisiko mendapat cap
internasional sebagai " negara paria", seperti Korea Utara dan Suriah
jika hal itu tidak memungkinkan PBB untuk menyelidiki dugaan kejahatan.
Untuk menjawab pertanyaan kenapa Aung San Suu Kyi tidak
begitu membela Rohingya? Dasar tindakan aneh yang dilakukan seorang peraih
nobel perdamaian ini menurut penulis salah satunya karna Aung San Suu Kyi dan
pemerintahan sipilnya ini karena berada di tempat yang sulit. Berdasarkan
konstitusi 2008, militer dapat mengumumkan keadaan darurat dan menangguhkan
pemerintah terpilih. Aung San Suu Kyi takut jika militer menangguhkan
pemerintahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar