Sabtu, 02 September 2017

Kenapa Aung San Suu Kyi Tidak Membela Rohingya?

Konflik sipil di Myanmar telah berlangsung lebih dari 60 tahun, mendiskriminasi orang Rohingya. Ini sungguh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Karena hak kewarganegaraan adalah hak asasi yang dijamin dan dilindungi hukum internasional. Bahkan di dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Deklarasi Universal HAM 1948 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan dan tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Baru-baru ini, militer Myanmar telah melakukan serangan balasan terhadap Rohingya, setelah pos polisi dan sebuah pangkalan militer diserang pada akhir Agustus 2017 oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Kelompok ini dianggap sebagai organisasi "teroris" oleh pemerintah Myanmar. Menurut kelompok Krisis Internasional, ARSA memiliki hubungan dengan Rohingya yang tinggal di Arab Saudi.

Rohingya kelompok etnis Muslim yang telah tinggal berabad-abad di mayoritas Myanmar Buddha. Saat ini, ada sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya yang tinggal di negara Asia Tenggara. Rohingya tidak dianggap sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi negara tersebut dan telah ditolak kewarganegaraannya di Myanmar sejak tahun 1982, yang telah secara efektif membuat mereka tanpa kewarganegaraan.

Tak lama setelah kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada tahun 1948, Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar disahkan, menentukan etnis mana yang bisa mendapatkan kewarganegaraan. Menurut laporan tahun 2015 oleh Klinik Hak Asasi Manusia Internasional di Yale Law School,  Rohingya tidak disertakan. Pada saat kudeta militer 1962 di Myanmar, keadaan Rohingya semakin sulit. Semua warga negara diminta untuk mendapatkan kartu registrasi nasional. Rohingya, bagaimanapun, hanya diberi kartu identitas asing, yang membatasi pekerjaan dan kesempatan pendidikan yang dapat mereka kejar dan dapatkan.

Pada tahun 1982, sebuah undang-undang kewarganegaraan baru disahkan, yang secara efektif membebaskan Rohingya tanpa kewarganegaraan. Di bawah hukum, Rohingya kembali tidak dikenal sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di negara ini. Undang-undang tersebut menetapkan tiga tingkat kewarganegaraan. Untuk mendapatkan tingkat yang paling dasar (naturalisasi kewarganegaraan), harus ada bukti bahwa keluarga seseorang tinggal di Myanmar sebelum tahun 1948, serta kelancaran salah satu bahasa nasional. Banyak Rohingya kekurangan dokumen semacam itu karena tidak tersedia atau ditolak oleh mereka.

Sejak tahun 1970an, sejumlah tindakan keras terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang untuk melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, serta Malaysia , Thailand, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Selama tindakan keras tersebut, para pengungsi sering melaporkan pemerkosaan, penyiksaan, pembakar dan pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar.

Organisasi Internasional tak berdaya terhadap Myanmar. Myanmar tetap saja melakukan hal yang tak menyenangkan pada Rohingya. Kita sudah tahu semua apa yang dilakukan Myanmar melanggar. Solusi preventif terus dijalankan. Kita takutkan adalah kawasan ASEAN menjadi tidak damai lagi. Beberapa konflik terus dicoba untuk mengganggu stabilitas ASEAN. Indonesia tak terpancing.

Umat Islam sedang sakit. Sakit itu berasal dari derita Rohingya. Kasihan umat Islam dunia. Tak bisa lakukan lobi apa-apa terkait masalah kemanusiaan Rohingya. Paling hanya mengkritik di media yang tak hasilkan apa-apa. Tapi itu lebih baik daripada diam. Apakah derita Rohingya ini akan sama dengan derita Palestina. Derita Palestina belum juga selesai.

Dari derita Rohingya kita harusnya bersyukur dan sungguh-sungguh menjaga Indonesia. Agar Indonesia bisa jadi milik semua rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.  Myanmar harus memperhatikan adab memperlakukan warga negaranya. Dengan diberikannya hak kewarganegaraan penuh kepada Rohingya dan pengakuan Rohingya sebagai bagian bangsa Myanmar, akan mempercepat penyelesaian permasalahan Rohingya.

Aung San Suu Kyi  sebagai peraih Nobel Perdamaian pun tidak memiliki kendali atas militer namun telah dikritik karena kegagalannya untuk mengutuk kekuatan sembarangan yang digunakan oleh tentara, dan juga membela hak-hak lebih dari satu juta Rohingya di Myanmar. Pemerintah Aung San Suu Kyi sering menolak akses wartawan dan pekerja bantuan ke Negara Bagian Rakhine. Kantor Aung San Suu Kyi juga menuduh kelompok bantuan membantu mereka yang dianggap sebagai "teroris".

Selain itu negara tersebut juga menolak visa kepada anggota penyelidikan PBB yang menyelidiki kekerasan tersebut dan dugaan pelanggaran di Rakhine yang bertujuan untuk menahan mereka yang bertanggung jawab. Jika para pemimpin Myanmar serius dalam mengakhiri perang sipil dan budaya impunitas di negara tersebut, mereka harus melakukan segalanya dengan kekuatan mereka untuk bekerja sama dengan misi PBB. Jika tidak, Myanmar berisiko mendapat cap internasional sebagai " negara paria", seperti Korea Utara dan Suriah jika hal itu tidak memungkinkan PBB untuk menyelidiki dugaan kejahatan.

Untuk menjawab pertanyaan kenapa Aung San Suu Kyi tidak begitu membela Rohingya? Dasar tindakan aneh yang dilakukan seorang peraih nobel perdamaian ini menurut penulis salah satunya karna Aung San Suu Kyi dan pemerintahan sipilnya ini karena berada di tempat yang sulit. Berdasarkan konstitusi 2008, militer dapat mengumumkan keadaan darurat dan menangguhkan pemerintah terpilih. Aung San Suu Kyi takut jika militer menangguhkan pemerintahannya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar