Jumat, 01 September 2017

Tak Ada Salahnya Khotbah Berbau Politik

Jika kamu melihat seseorang terbiasa pergi ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia beriman,  Allah berfirman, yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir (HR. Tirmidzi).

Masjid pertama yang dibangun umat Islam terletak di Quba. Masjid yang dibangun pada 8 Rabiul Awal 1 Hijriah ini dibangun oleh tangan Nabi Muhammad sendiri dibantu para sahabat. Di masjid inilah, juga masjid-masjid agung lainnya, peradaban Islam dibangun. Di sanalah pemikiran, pemerintahan, dan pengadilan diselenggarakan. Tempat di mana strategi dan persiapan perang juga dilakukan. Fungsi utama masjid adalah tempat beribadah. Namun ia juga berfungsi sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, dan berinteraksi. Dengan kata lain masjid adalah ruang publik bagi masyarakat islam.

Ada pula masjid-masjid yang menjadi sumber peradaban intelektual Islam. Seperti Masjid Al Mansur di Baghdad, Madrasah Ulugh Beg, yang termasuk dalam kompleks masjid di Samarkand, Uzbekistan, Masjid Al Zaytun di Tunisia yang memiliki lebih dari 200.000 volume buku dan juga masjid Al Azhar di Mesir yang menyimpan jutaan buku dari berbagai mazhab yang ada dalam islam. Di dalam masjid ini berbagai pemikiran diberi ruang dan diberikan tempat.

Bermodalkan bangunan masjid kecil, Rasulullah mulai membangun dunia, sehingga kota kecil yang menjadi tempat beliau membangun dunia benar-benar menjadi Madinah, yang arti harfiyahnya adalah “pusat peradaban”, atau paling tidak, dari tempat tersebut lahirlah benih peradaban baru umat manusia. Sebagai Kepala Pemerintah dan Kepala Negara Muhammad SAW tidak mempunyai istana seperti halnya para pejabat di era modern, beliau menjalankan roda pemerintahan dan mengatur umat Islam di Masjid. Bahkan permasalahan-permasalahan umat, hingga mengatur strategi peperangan, beliau selesaikan bersama-sama dengan para sahabat di Masjid.

Penurunan fungsi masjid sudah terjadi pada masa pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, pada masa ini terjadinya penurunan fungsi dan peran masjid. Masjid sudah tidak lagi dijadikan sebagai sentral kegiatan umat Islam. Hal ini disebabkan telah dibangunnya istana yang menjadi pusat pemerintahan, sehingga masjid hanya dijadikan sebagai tempat keagamaan saja. Mulai dari masa ini sampai masa sekarang, terjadi perubahan dan pergeseran fungsi dan peran masjid, masjid dibangun sangat megah namun, peran dan fungsinya tidak berjalan secara maksimal sebagaimana di zaman Rasulullah dan sahabat.

Pada masa sekarang dikhawatirkan peran dakwah, politik, ekonomi, sosial dan kesehatan yang sudah mulai menghilang dari masjid perlu untuk di revitalisasikan di era modern. Menghilangnya peran dan fungsi tersebut disebabkan minimnya pengetahuan sumber daya manusia (ta‟mir) masjid tentang peran dan fungsi masjid serta dana masjid yang tidak mencukupi untuk pengadaan aktifitas-aktifitas sosial masjid. Dahulu nabi pun tidak pernah hanya memfungsikan masjid hanya untuk ibadah. Masjid dijadikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai lembaga penumbuhkembangan keshalehan sosial dalam rangka menciptakan masyarakat religion-politik menurut tuntunan ajaran Islam. Pada masa itu, masjid sepenuhnya berperan sebagai lembaga rekayasa sosial yang sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.

Muncul kontroversi di masyarakat, bolehkah masjid dijadikan ajang kegiatan politik? Bolehkah seorang khatib masjid mengarahkan umatnya untuk memilih partai atau politisi tertentu dalam pemilihan umum? Mereka yang mengatakan boleh mengambil contoh riwayat Nabi Muhammad SAW yang membangun masjid pertama di Madinah dan menjadikannya sebagai pusat seluruh kegiatannya. Nabi shalat, beribadah, mengatur pemerintahan, merancang strategi perang, mengeluarkan instruksi, dan sekaligus berdakwah di Masjid Nabawi. Islam tidak memisahkan antara ibadah dan urusan muamalah dan negara.

Sedangkan pendapat yang kontra seperti diutarakan mantan ketua Muhammadiyah Syafii Maaraif menulis di sebuah koran ibukota mengingatkan bahaya membawa politik ke masjid. Beliau menulis " Tuan dan puan bisa bayangkan, jika dalam khutbah Jum’at diselipkan kampanye politik partai tertentu, pastilah masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh suasana persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari, seperti yang dulu pernah berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran saya adalah membebaskan semua masjid dari gesekan politik kepentingan sesaat. Jadikan Rumah Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang beriman, terlepas dari apa pun partai yang didukungnya".

Sekretaris Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Muhammadiyah Amin, mengatakan gejala penggunaan khotbah untuk kepentingan politik dan ideologi tertentu, khususnya kelompok garis keras, mulai marak terjadi pascareformasi 1998. Dr. Hilmy Bakar Almascaty M.A., salah seorang bekas petinggi Front Pembela Islam (FPI) yang di masa Orde Baru memilih tinggal di Malaysia bersama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, menyebut khotbah Jumat harus dimaksimalkan untuk menggelar apa yang ia sebut sebagai “jihad lisan”. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdathul Ulama, Ahmad Ishomuddin, melihat khotbah politik di masjid sebenarnya tidak masalah. Namun, bukan dalam konteks politik praktis, seperti menjelek-jelekkan calon lain atau menghasut orang untuk tidak memilih calon pemimpin lainnya. Khotbah itu harus yang bersifat universal dan menanamkan nilai perdamaian

Gambaran bangsa Indonesia selama masa 1945-1950 lebih banyak tercurah kepada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bentuk perjuangan fisik (Deliar Noer, 1987: 197) bisa kita jadikan acuan melihat pentingnya masjid berbicara politik. Spirit perjuangan pada umumnya diliputi oleh spirit Islam, seperti dikumandangkannya seruan jihad fi sabilillah Apalagi tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi merupakan amanah yang harus diwujudkan. Hukum-hukum tersebut tidak akan mungkin bisa tegak tanpa politik pada umumnya dan kekuasaan pada khususnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Islam harus ditegakkan dengan dua hal : Al Qur’an dan pedang. Al-Qur’an merupakan sumber hukum-hukum Allah sedangkan pedang melambangkan kekuatan politik atau kekuasaan yang menjamin tegaknya isi Al-Qur’an.

Diskusi panjang tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia muncul seiring dengan timbulnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yaitu pada awal abad ke-20. Pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut, sejumlah intelektual muslim, tak terkecuali Mohammad Natsir (1908-1993), dari berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik seperti Sarekat Islam, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain telah mulai melontarkan pemikiran-pemikiran politiknya berkenaan dengan hubungan antara Islam dan kebangsaan.

Hubungan Islam dan negara dalam pandangan Natsir adalah hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara kepada sekularisasi. Baginya, agama Islam adalah agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agamanegara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral (Syamsuddin, 1993: 6). Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama tetapi juga merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agamadari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Yusril Ihza Mahendra, 1995: 136).

Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian sebuah negara ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibnu Taimiyyah (1328 M) yang mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agarna. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan (Ibnu Taimiyyah, 1988: 138). Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajat an Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Pandangan Natsir ini didasarkan pada Alquran, al-Dzariyyat: 56.

Jadi, apakah benar tak ada salahnya khotbah berbau politik? Menurut penulis tidak masalah, karena masjid mempunyai posisi yang sangat vital dalam memberikan solusi bagi permasalahan sosial di masyarakat. Jika kondisi politik dan ekonomi suatu negara buruk. Masjid harus berbicara kepada umat dan menunjukkan jalan keluar solusinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar