Jika kamu melihat seseorang terbiasa pergi ke masjid, maka
saksikanlah bahwa dia beriman, Allah
berfirman, yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir (HR. Tirmidzi).
Masjid pertama yang dibangun umat Islam terletak di Quba.
Masjid yang dibangun pada 8 Rabiul Awal 1 Hijriah ini dibangun oleh tangan Nabi
Muhammad sendiri dibantu para sahabat. Di masjid inilah, juga masjid-masjid
agung lainnya, peradaban Islam dibangun. Di sanalah pemikiran, pemerintahan,
dan pengadilan diselenggarakan. Tempat di mana strategi dan persiapan perang
juga dilakukan. Fungsi utama masjid adalah tempat beribadah. Namun ia juga
berfungsi sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, dan berinteraksi. Dengan kata
lain masjid adalah ruang publik bagi masyarakat islam.
Ada pula masjid-masjid yang menjadi sumber peradaban
intelektual Islam. Seperti Masjid Al Mansur di Baghdad, Madrasah Ulugh Beg,
yang termasuk dalam kompleks masjid di Samarkand, Uzbekistan, Masjid Al Zaytun
di Tunisia yang memiliki lebih dari 200.000 volume buku dan juga masjid Al
Azhar di Mesir yang menyimpan jutaan buku dari berbagai mazhab yang ada dalam
islam. Di dalam masjid ini berbagai pemikiran diberi ruang dan diberikan
tempat.
Bermodalkan bangunan masjid kecil, Rasulullah mulai
membangun dunia, sehingga kota kecil yang menjadi tempat beliau membangun dunia
benar-benar menjadi Madinah, yang arti harfiyahnya adalah “pusat peradaban”,
atau paling tidak, dari tempat tersebut lahirlah benih peradaban baru umat
manusia. Sebagai Kepala Pemerintah dan Kepala Negara Muhammad SAW tidak
mempunyai istana seperti halnya para pejabat di era modern, beliau menjalankan
roda pemerintahan dan mengatur umat Islam di Masjid. Bahkan permasalahan-permasalahan
umat, hingga mengatur strategi peperangan, beliau selesaikan bersama-sama
dengan para sahabat di Masjid.
Penurunan fungsi masjid sudah terjadi pada masa pada masa
Bani Umayyah dan Abbasiyah, pada masa ini terjadinya penurunan fungsi dan peran
masjid. Masjid sudah tidak lagi dijadikan sebagai sentral kegiatan umat Islam.
Hal ini disebabkan telah dibangunnya istana yang menjadi pusat pemerintahan,
sehingga masjid hanya dijadikan sebagai tempat keagamaan saja. Mulai dari masa
ini sampai masa sekarang, terjadi perubahan dan pergeseran fungsi dan peran
masjid, masjid dibangun sangat megah namun, peran dan fungsinya tidak berjalan
secara maksimal sebagaimana di zaman Rasulullah dan sahabat.
Pada masa sekarang dikhawatirkan peran dakwah, politik,
ekonomi, sosial dan kesehatan yang sudah mulai menghilang dari masjid perlu
untuk di revitalisasikan di era modern. Menghilangnya peran dan fungsi tersebut
disebabkan minimnya pengetahuan sumber daya manusia (ta‟mir) masjid tentang
peran dan fungsi masjid serta dana masjid yang tidak mencukupi untuk pengadaan
aktifitas-aktifitas sosial masjid. Dahulu nabi pun tidak pernah hanya
memfungsikan masjid hanya untuk ibadah. Masjid dijadikan oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai lembaga penumbuhkembangan keshalehan sosial dalam rangka menciptakan
masyarakat religion-politik menurut tuntunan ajaran Islam. Pada masa itu,
masjid sepenuhnya berperan sebagai lembaga rekayasa sosial yang sesuai dengan
tuntunan ajaran agama Islam.
Muncul kontroversi di masyarakat, bolehkah masjid dijadikan
ajang kegiatan politik? Bolehkah seorang khatib masjid mengarahkan umatnya
untuk memilih partai atau politisi tertentu dalam pemilihan umum? Mereka yang
mengatakan boleh mengambil contoh riwayat Nabi Muhammad SAW yang membangun
masjid pertama di Madinah dan menjadikannya sebagai pusat seluruh kegiatannya.
Nabi shalat, beribadah, mengatur pemerintahan, merancang strategi perang,
mengeluarkan instruksi, dan sekaligus berdakwah di Masjid Nabawi. Islam tidak
memisahkan antara ibadah dan urusan muamalah dan negara.
Sedangkan pendapat yang kontra seperti diutarakan mantan
ketua Muhammadiyah Syafii Maaraif menulis di sebuah koran ibukota mengingatkan
bahaya membawa politik ke masjid. Beliau menulis " Tuan dan puan bisa
bayangkan, jika dalam khutbah Jum’at diselipkan kampanye politik partai
tertentu, pastilah masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh
suasana persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari,
seperti yang dulu pernah berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran saya
adalah membebaskan semua masjid dari gesekan politik kepentingan sesaat.
Jadikan Rumah Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang
beriman, terlepas dari apa pun partai yang didukungnya".
Sekretaris Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Muhammadiyah Amin, mengatakan gejala penggunaan khotbah untuk
kepentingan politik dan ideologi tertentu, khususnya kelompok garis keras,
mulai marak terjadi pascareformasi 1998. Dr. Hilmy Bakar Almascaty M.A., salah
seorang bekas petinggi Front Pembela Islam (FPI) yang di masa Orde Baru memilih
tinggal di Malaysia bersama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, menyebut
khotbah Jumat harus dimaksimalkan untuk menggelar apa yang ia sebut sebagai
“jihad lisan”. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdathul Ulama, Ahmad Ishomuddin,
melihat khotbah politik di masjid sebenarnya tidak masalah. Namun, bukan dalam
konteks politik praktis, seperti menjelek-jelekkan calon lain atau menghasut
orang untuk tidak memilih calon pemimpin lainnya. Khotbah itu harus yang
bersifat universal dan menanamkan nilai perdamaian
Gambaran bangsa Indonesia selama masa 1945-1950 lebih
banyak tercurah kepada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bentuk
perjuangan fisik (Deliar Noer, 1987: 197) bisa kita jadikan acuan melihat
pentingnya masjid berbicara politik. Spirit perjuangan pada umumnya diliputi
oleh spirit Islam, seperti dikumandangkannya seruan jihad fi sabilillah Apalagi
tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi merupakan amanah yang harus diwujudkan.
Hukum-hukum tersebut tidak akan mungkin bisa tegak tanpa politik pada umumnya
dan kekuasaan pada khususnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Islam harus
ditegakkan dengan dua hal : Al Qur’an dan pedang. Al-Qur’an merupakan sumber
hukum-hukum Allah sedangkan pedang melambangkan kekuatan politik atau kekuasaan
yang menjamin tegaknya isi Al-Qur’an.
Diskusi panjang tentang hubungan Islam dan negara di
Indonesia muncul seiring dengan timbulnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia,
yaitu pada awal abad ke-20. Pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut, sejumlah
intelektual muslim, tak terkecuali Mohammad Natsir (1908-1993), dari berbagai
organisasi sosial keagamaan dan politik seperti Sarekat Islam, Persatuan Muslim
Indonesia (Permi), Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain telah mulai
melontarkan pemikiran-pemikiran politiknya berkenaan dengan hubungan antara
Islam dan kebangsaan.
Hubungan Islam dan negara dalam pandangan Natsir adalah
hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara kepada
sekularisasi. Baginya, agama Islam adalah agama universal yang menata seluruh
mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara. Dalam hal ini, agama memerlukan
negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara
memerlukan agama, karena dengan agamanegara dapat berkembang dalam bidang etika
dan moral (Syamsuddin, 1993: 6). Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa
Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan
ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang
kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana
pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama tetapi juga
merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya
pemisahan agamadari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat
dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Yusril Ihza Mahendra, 1995:
136).
Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian sebuah negara
ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibnu Taimiyyah (1328 M) yang
mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam
agarna. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan
adanya kepemimpinan (Ibnu Taimiyyah, 1988: 138). Terkandungnya hukum-hukum
kenegaraan dalam ajat an Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam
tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Pandangan Natsir ini
didasarkan pada Alquran, al-Dzariyyat: 56.
Jadi, apakah benar tak ada salahnya khotbah berbau politik?
Menurut penulis tidak masalah, karena masjid mempunyai posisi yang sangat vital
dalam memberikan solusi bagi permasalahan sosial di masyarakat. Jika kondisi
politik dan ekonomi suatu negara buruk. Masjid harus berbicara kepada umat dan
menunjukkan jalan keluar solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar